Menara di Hatiku

Bapak memiliki rambut yang sudah banyak dihinggapi uban, namun wajah dan postur tubuhnya masih memancarkan kharisma, wibawa dan kearifan. Kulitnya kuning, perpaduan bentuk wajahnya pun enak dipandang, wajar jika biarpun sudah memiliki istri dan anak, bapak tetap jadi idola di kantornya.

Bapak pernah cerita bahwa teman kerjanya ada yang memberi banyak perhatian atau curhat padanya, namun bapak menolak dan menganjurkan teman wanitanya itu untuk curhat langsung ke ibu. Pernah juga bapak bercerita dengan ekspresi ketakutan namun dibarengi gelak tawa , saat pulang kantor dikejar dan ditempeli waria.

"Fitrah laki-laki adalah menyukai segala sesuatu di diri wanita, apalagi wanita di depannya tidak menutup aurat hingga kecantikannya terlihat, fase pertama memegang tangan, itu bagai ada aliran listrik menjalar dalam tubuh, lalu meningkat pada dorongan nafsu yang lain, dilanjuti meraba, lalu mencium, hingga fase pemuas akhir akan menodai kehormatan seorang wanita." Bapak masih serius berbicara dengan mata yang tak berkedip, tangannya tidak berhenti memberi isyarat penekanan dalam mendukung tiap kata yang diucapkan.

Hari saat itu sudah mau menuju tengah malam, namun aku belum mengantuk betul, mataku masih bersahabat dengan wejangan bapak. Ibu sudah ada di kamar menemani adikku tidur, sedangkan kakak, bila tidak belajar, pasti sedang membaca buku favoritnya. Hanya aku dan bapak yang berada di ruang tamu bercat kuning dengan pajangan kaligrafi di beberapa bagian dinding, kami hanya ditemani suara detik jam.

"Des, wanita adalah kehormatan di keluarga, maka jika kamu jaganya, kita berhasil menjaga nama baik kita. Itu kenapa bapak larang kamu mengikuti 5 temanmu kemarin, berpasangan pula pria dan wanita. Dalam Islam, hal seperti itu mendekati zina." Kali ini Bapak memegang pundakku.

"Huuff, malam Mingguan bukankah hal lazim dan sepele bagi orang lain? mengapa di keluargaku begitu rumit seperti ini?" Tanyaku pada diri sendiri dalam hati. Tak mungkin aku utarakan pada Bapak yang hatinya seputih salju, bisa dianggap anak durhaka aku, wejangan bapak mungkin saja berlanjut ke episode selanjutnya.

Drama malam aku akhiri dengan kalimat
"Oke bos, siap laksanakan." Selalu berhasil menghentikan nasehat panjang Bapak, tak jauh beda dengan Ibu. Aku tak paham dengan diriku yang memberontak tidak setuju namun akhirnya selalu mengiyakan semua perintah mereka, Ahh.. mereka menara hatiku, kedudukannya terlalu tinggi, indah dan merupakan tempat kembali saat aku tersesat, hanya memandang akan ketinggiannya, aku tahu kemana arah pulang, mungkin itu alasannya.

bersambung
#30DWCjilid13 #Squad4 #Day24

Komentar